Selamat Datang

Salam.....! Terima kasih Sobat telah masuk ke link saya. Salam kenal dengan komentarnya

Sabtu, 23 Januari 2010

Peluang Pendidikan Dan Korupsi

Di tengah ramainya pesta korupsi bernilai triliunan rupiah
kita melihat fenomena ironis dari jumlah penduduk
miskin Indonesia ; sumber resmi pada tahun 2004 saja tumbuh pesat menjadi 37 juta jiwa (Suara Pembaruan, 29/1/05)
dari yang sebelumnya 36.2 juta jiwa, 16.6
persen dari total penduduk Indonesia.
Dalam konteks sosio-politik, fenomena paradoks ini
tidak mengherankan. Setiap negara dengan level Korupsi Kolusi dan Nepotismenya sangat tinggi
selalu dibarengi dengan gap kaya-miskin yang tinggi pula
seiring lemahnya peningkatan rasio ekonomi. Begitu juga
suatu negara dengan level Korupsi Kolusi dan Nepotismenya rendah, gap kaya-miskin
rendah. Realitas di negara-negara maju
dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
konsisten. Ini bukan berarti tidak ada orang miskin umpamanya di negara
Amerika Serikat. Akan tetapi pembagian kue
ekonomi relatif merata. Artinya meningkatnya
kekayaan kalangan ‘the have’ selalu dibarengi dengan
peningkatan penghasilan ‘the have-not’. Sehingga,
kaum buruh kasar sekalipun di negara tersebut dapat menabung
untuk membeli mobil bahkan berlibur ke luar negeri di
musim vakansi.
Danarto ( 4/2/05 Media Indonesia) Krisis
multidimensi sejak 1997 sampai 2004 saja telah melenyapkan
kekayaan negara sekitar 900 triliun rupiah (ini sama
dengan 3 x lipat ABPN kita). Jumlah riil yang langsung diderita
negara. Ini bukan korupsi yg disebabkan oleh sogokan
atau uang pelicin yang dikenakan pihak birokrat/PNS
kepada rakyat/pihak swasta untuk berbagai keperluan
layanan; dari layanan kecil seperti pengurusan KTP,
legalisir ijazah, sampai yang besar seperti layanan
perijinan usaha, tender kontrak, dan sebagainya.
Seperti kita ketahui Korupsi dapat dikelompokkan kedalam dua tipe, pertama
penyalahgunaan dana anggaran untuk keperluan yang tidak
semestinya atau mark-up dari kebutuhan riil. Kedua
penarikan upeti pada rakyat yang membutuhkan layanan
atau bantuan. Kedua modus korupsi ini sudah sangat
merata di Indonesia. Tak heran lembaga pengamat
korupsi Transparency International memposisikan
Indonesia dalam kelompok Top Ten negara paling korup
di dunia. “Prestasi” yang semestinya membuat kita
malu.
Malu bukan hanya karena kita menjadi bangsa paroki,
tak beradab di mata dunia global, tapi juga karena di
tengah kenyataan pahit ini kita masih merasa bangga.
Di sekolah,kampus, dan di setiap pidato
pejabat/birokrat, kita masih mendengar nyanyian merdu
yang paradoks: bahwa kita adalah bangsa yg relijius,
bangsa yg besar dan beradab, bangsa yg tahu sopan
santun, negara adil makmur, gemah ripah loh jinawi, dan seterusnya
Kita mesti malu dengan kenyataan di atas itu karena
salah satu persyaratan mutlak sebuah bangsa besar yang ingin
maju haruslah memahami betul kekurangan dan
kelebihannya. Berusaha memperbaiki kekurangan,
menghilangkan penyakit dan gejalanya, dan melestarikan
kelebihan serta meningkatkan potensi yang ada. Sense of
urgency, sense of anxiety dan sense of curiosity serta
sense of resiliency jelas faktor-faktor yg diperlukan
dimiliki oleh setiap individu bangsa: birokrat maupun
rakyatnya.
Dalam perspektif manajemen, meratanya korupsi di
negara-negara berkembang seperti Indonesia ditimbulkan
oleh lemah dan tidak solidnya sistem manajerial;
terlalu banyaknya black-hole dalam undang-undang (UU)
dan peraturan pemerintah (PP), dll. yang membuat korupsi
menjadi begitu kondusif. Sekali korupsi itu dilakukan
oleh seorang birokrat, maka ia akan memiliki efek
domino: birokrat lain akan beramai-ramai melakukannya.
Dan itulah yang terjadi di negara kita. Setiap koruptor
akan selalu berusaha untuk “menularkan” dan membagikan
rejeki haramnya pada yang lain untuk alasan keamanan,
dan begitu seterusnya. Sehingga kaki-kaki korupsi
menjadi begitu menggurita dalam tubuh birokrasi.
Karena meratanya KKN, maka kalangan kecil yang “bersih”
pun menjadi parokial dan marjinal serta terisolasi:
sebuah paradoks ironis yang lain, di mana penjahat
menjadi “hero” dan hero menjadi penjahat dalam drama
realitas hidup birokrasi Indonesia.
Dalam konteks psiko-sosial, hobi korupsi disebabkan
oleh banyak hal: reposisi kemiskinan yang berakibat pada
ketamakan luar biasa, pandangan martabat diri
artifisial (tidak hakiki) yang didasari oleh pola pikir
materialistik, dll. Yang pada gilirannya mengarah pada
ketakpedulian atas akibat perbuatan terkutuknya pada
nasib negara, bangsa dan individu rakyat secara
keseluruhan.
Tidak ada obat mujarab yang akan membuat KKN di
Indonesia lenyap dalam waktu singkat. Setidaknya
selama orang-orang yang sama masih duduk tenang dan
berkuasa. Namun, satu hal yang mesti diingat buat para
koruptor –kelas teri atau kakap– yang membaca tulisan
ini: bahwa setiap rupiah yang Anda korupsi telah membuat
generasi muda semakin jauh pada akses pendidikan dan
kesejahteraan. Dan dengan demikian, semakin jauh pula
prospek negara dan bangsa Kita menjadi maju dan
berjaya sejajar dengan negara-negara lain. Dengan kata lain,
semakin besar kemungkinan kita menjadi bangsa pengemis
yang selalu menggantungkan segalanya pada bantuan negara
lain.
Retorika indah tapi paradoks dan ironis oleh siapapun
bukan hanya tidak diperlukan, tapi juga akan semakin
menenggelamkan kondisi terpuruk bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar