Selamat Datang

Salam.....! Terima kasih Sobat telah masuk ke link saya. Salam kenal dengan komentarnya

Minggu, 31 Januari 2010

BERGELAR S2,S3....?


Tujuan melanjutkan jenjang pendidikan  sampai mencapai gelar  S2
bahkan S3
,di negara
berkembang seperti Indonesia, jawaban  umum
adalah
 meningkatkan taraf hidup, ingin hidup
kaya.
Dengan gelar minimum S1, kita akan
dapat pekerjaan yang agak layak dan tidak jadi
pengangguran.
Pilihan sekolah tinggi untuk tujuan kerja yang layak dan
dapat harta
melimpah masih dalam tarap  wajar, apalagi dalam
konteks masyarakat
negara  berkembang di mana
untuk mendapat sesuap nasi
saja pun terkadang  sulit.
Pola pikir semacam ini bisa dikatakan tidak baik apabila
mendominasi mindset seluruh masyarakat yang sebenarnya
beragam
atau tidak monolitik. Secara nyata, dari
seluruh  populasi penduduk Indonesia, tidak semuanya
berlatarbelakang miskin
, ada diantaranya kalangan menengah
yang berbackground hidup berkecukupan  atau
sudah menempati posisi jabatan tinggi
baik di pemerintahan
atau
pun  swasta yang tergolong kelas menengah.
Apabila kalangan kelas menengah ini punya pola pikir
sama d
engan  mereka yang hidupnya kurang beruntung
sekolah untuk tujuan hidup kaya raya”, maka dalam jangka
panjang akan merugikan
Negara kita, karena beberapa
faktor:
Pertama, kalangan yang sudah hidup layak, baik faktor
keturunan atau sudah mendapatkan pekerjaan mapan dan
punya gaji besar, punya jabatan, menjadi malas untuk
melanjutkan
studinya  ke jenjang yang lebih tinggi buat apa
sekolah tinggi-tinggi, saya sudah kaya, jabatanpun sudah punya”.
Padahal k
elompok inilah yang paling berpeluang untuk
melanjutkan
sekolahnya setinggi mungkin (S2,S3) dalam
segi biaya.
Kedua, Negara kita akan kekurangan sumber daya
manusia
yang handal yang sebenarnya akan dapat ditutupi apabila
kalangan menengah
tadi  mau terus menuntut Ilmu.
Ironis, banyak kalangan tak beruntung yang ingin
mencapai gelar tinggi tersebut  tapi terhalang biaya.
Ketiga, tidak bisa dihindari akan terjadi ketidakefektifan sistem kerja.
Kalangan pejabat yg kebanyakan lulusan S1 ini apabila
membutuhkan tenaga ahli, maka mereka
pasti akan
mengangkat staf ahli yakni kalangan lulusan S3 yg
nantinya digaji
juga oleh negara: mengapa tidak sekalian
sang tenaga ahli itu yg menjabat
dengan begitu tentunya akan lebih efesien
Keempat, secara psiko-sosial, kalangan pejabat yg
berpendidikan kurang tinggi umumnya kepeduliannya pada
dunia pendidikan juga kurang (bisa karena cemburu
sosial atau memang tidak peduli). Yg paling sinis akan
mengatakan:
“Buat apa sekolah tinggi-tinggi, saya cuma S1 tapi
bisa hidup layak.” (ini mindset orang kaya kampungan)
“Buat apa titel DR, saya yg S1 bisa memerintah
mereka.” (ini yg gila jabatan)
Selain itu, berbagai kebijakan mereka nantinya (dan
sudah sering terjadi di era sekarang maupun dulu)
terkesan tidak cinta pendidikan dan orang yg
berpendidikan, tentu dg berbagai alasan yg tak perlu
dibahas di sini.
Fenomena di negara maju tentu saja berbeda. Dan itulah
salah satu sebabnya mengapa negara mereka menjadi
negara maju. Sebagai perbandingan, setiap satu juta
penduduk di Amerika memiliki 5000 orang yg bergelar
Ph.D sedang di Indonesia dari setiap satu juta
penduduk, hanya 600 orang yg bergelar Ph.D.
Karena studi  bukan hanya bertujuan untuk mencari
harta, popularitas atau kedudukan saja
,  juga bukan
karena sekedar kewajiban akademis untuk peningkatan
status kepegawaian, dll.
Studi tinggi adalah simbol kepakaran (walau tak semua
Ph.D pantas disebut pakar). Ia juga simbol dari
“sampai di finish line”: seorang pantas disebut
bermental juara apabila dia mencapai finish line
(walau tidak harus menang dalam kompetisi itu). Ia
mewakili sebuah ambisi untuk terus maju demi kualitas
diri dan kualitas bangsanya.
Kebijakan  yg “educational and educated-people
friendly” juga menguatkan asumsi  di atas: bahwa
untuk mencintai dunia pendidikan dan menyayangi semua
hal yg berkaitan dg pendidikan tidak bisa dilakukan
oleh orang yg pendidikannya rendah. Banyak kasus di
Indonesia, seperti kebijakan pemerintah yg tak
“educational friendly”; sikap pejabat yg terkesan
sekedar “bermanis muka” terhadap mahasiswa semakin
memperkuat statemen di atas.
Indonesia membutuhkan orang-orang seperti Larry Page
dan Sergey Brin
(contoh kepakaran di dunia Internet}
utk menduduki berbagai posisi penting di
pemerintahan. And we need it very badly, to make our
country much better than it’s actually been.
Presiden SBY telah memberi contoh bagus dg tetap
kuliah sampai mencapai gelar Ph.D di tengah-tengah
kesibukannya bekerja. Di
Negara tetangga India, peluang itu lebih
besar lagi. Hampir setiap universitas negeri di
sana
memiliki program “non-regular” bagi mereka yg sudah
disibukkan rutinitas pekerjaan tapi masih ingin
melanjutkan studi. Bagi diplomat yg rata-rata bertugas
sekitar tiga tahun, ini kesempatan luas untuk
mengambil program S2 yg hanya dua tahun, atau S3 yg
dapat ditempuh dalam tiga tahun. Apalagi untuk
kalangan staf lokal.
Untuk apa, saya ‘kan sudah tua! - Untuk menambah
daftar insan bergelar
S3,Ph.D; - Untuk menambah wawasan
dan semakin cinta dunia pendidikan;
- Untuk memberi
contoh pada generasi berikutnya (termasuk anak-anak
sendiri) bahwa betapa pentingnya studi sampai tingkat
tertinggi, “Bapak saja yg sudah tua masih belajar,
kenapa kalian yg masih muda-muda kok malas-malasan?”
Bagi rekan-rekan muda, jangan pernah mimpi hidup
sukses di masa depan hanya dg bermalas-malasan. Tidak
ada keberhasilan yg dicapai dg hanya mimpi di siang
bolong (karena malemnya habis begadang).***
fatihsyuhud

Quantcast



Tidak ada komentar:

Posting Komentar